“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (mencari keridhaan) Kami, akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS.Al Ankabut 69)
Apakah kita sering mengeluh tentang kesulitan hidup? Mengeluh karena sakit? Mengeluh karena merasa kurang cantik? mengeluh karena hal-hal kecil lainnya?
Jika “Ya” maka kita perlu belajar dari para atlet yang mengikuti Asian Para Games 2018, yaitu pesta olahraga se Asia bagi orang-orang yang memiliki kebutuhan khusus. Jelasnya pertandingan olahraga se Asia bagi orang-orang penyandang cacat.
Kita akan malu jika hidup dengan sederet keluhan. Lalu membandingkan dengan saudara kita yang secara fisik berkekurangan namun wajah mereka nampak cerah penuh semangat hidup. Tidak nampak wajah kusut, wajah nelangsa, wajah minta dikasihani. Yang ada ialah wajah penuh vitalitas hidup. Wajah tidak pernah mau menyerah pada keadaan. Bahkan ada atlet yang teguh memilih lebih baik tidak dapat medali daripada mengorbankan keyakinan.
Malu kita jika sedikit-sedikit mengeluh, sedikit-sedikit nelangsa, sedikit-sedikit mau putus asa hanya karena ada kesulitan kecil. Berikut ini beberapa nama sekedar contoh dari orang-orang yang secara fisik memiliki kekurangan tetapi bisa mengukir prestasi luar biasa. Fisik mereka berkekurangan tetapi mental mereka mental juara
Muhammad Fadli Imamuddin. Pria tanpa kaki kiri ini berhasil meraih tiga mendali sekaligus. Medali emas, perak dan perunggu dari tiga jenis lomba cabang balap sepeda. Itu diraih melalui perjuangan panjang setelah merasakan banyak penderitaan.
Pada mulanya Fadli adalah pembalap motor yang hebat. Bukan pembalap sepeda. Pada sebuah lomba motor di Sirkuit Sentul dia telah mencapai finis dan memenangkan lomba itu. Maka sambil melambaikan tangan kepada penonton motornya berjalan pelan menepi karena sudah melewati beberapa ratus meter dari garis finis. Namun tanpa diduga pembalap dari Thailand tiba-tiba melaju kencang dan menghantam kaki kiri Fadli. Fadli terpental dari motor.
“Setelah terjatuh saya sadar saya mengalami cidera yang serius karena banyaknya darah yang tercecer. Namun saya terus berusaha tetap sadar, tidak pingsan” kenang Fadli. Kaki kirinya banyak patahan-patahan. Pengobatan terus dilakukan agar kaki kirinya bisa diselamatkan. Juga berkali-kali dioperasi. Tapi semua usaha itu gagal. Maka tidak ada jalan lain. kaki kiri harus diamputasi. Kini dia hanya punya satu kaki. Kaki kanan tanpa kaki kiri.
Sejak kecalakaan itu Fadli menghabiskan waktu di tempat tidur. Untuk duduk saja sudah pusing. Itu berlangsung sampai enam bulan. Dalam keadaan demikian anaknya lahir. Itulah penyemangat baginya. Dia bertekad dirinya harus sudah bisa berjalan sebelum anaknya bisa berjalan. Dia harus bangkit. Tentu mengalami sakit yang sangat karena penyesuaian otot-ototnya.
Ketika dia sudah “normal” dan bersepeda untuk menjaga kebugaran, pelatih balap sepeda menawari Fadli untuk menekuni balap sepeda. Dia terima tawaran itu dan belatih dengan sangat sungguh-sungguh. Dia yakin meskipun dengan kaki kiri palsu dia bisa sukses. Dia tanamkan semangat: “Kamu orang normal. Tidak cacat, normal tidak cacat, normal tidak cacat…”.
Suparni Yati: Atlet kelahiran Riau 18 Agustus 1993 ini difabel grahita atau cacat kekurangan intlektual. Artinya kecerdasannya dibawah ukuran normal. Dia dibersarkan dari keluarga sederhana. Anak dari penjual tempe.
Dalam keterbatasan sebagai tuna grahita itu Suparni Yati berhasil mempersembahkan medali emas cabang tolak peluru pada Asian Para Games 2018 bahkan memecahkan rekor Asia. Tolakan pelurunya mencapai 11.03 meter, mengalahkan Nursuhana dari Malaysia pemegang rekor Asia yang mencapai lemparan sejauh 9,66 meter.
Dia sangat gembira atas medali emas yang dipersembahkan untuk negara, untuk mamaknya, dan pelatihnya yang juga bapak angkatnya . Sedang soal karirnya Suparni mempersiapkan dengan sungguh-sungguh bisa ikut paralimpiade di Tokyo tahun 2020 (Keburu ada Pandemi). Kunci kesuksesan menurut Suparni ialah “Giat berlatih, tekun berdoa dan terus bersemangat mencapai cita-cita.”Doakan juga saya tetap rendah hati, tidak sombong”. katanya.
Edy Suryanto, pecatur tuna netra ini mengalungkan empat medali di lehernya ketika menerima bonus di istana. “ Saya sebenarnya mentarget diri saya meraih empat medali emas, eh ternyata satu luntur jadi perunggu” kelakarnya.
Tentu sangat sulit bagi seorang tunanetra bermain catur dibandingkan dengan orang yang bisa melihat. Ketajaman mata berpindah ke jari-jari. Dia belajar memahami catur, diatas papan catur khusus yang berlobang dia tancapkan buah catur. Lalu harus terus mengingat posisi catur sendiri dan posisi catur lawan.”Sedikit lupa posisi lawan, maka akan kalah. Karena itu harus terus konsntrasi penuh”. kata Edy.
Dengan cara itu, dia sanggup pula mengalahkan pemain catur dari kawan-kawannya yang normal, yang bisa melihat. Meskipun sebagai pecatur nasional, Edy tetap meneruskan profesinya sebagai tukang pijat. “Itu memperbanyak kawan” ujarnya.
Ada keinginan yang sama dari mereka setelah behasil meraih medali emas ini. Mereka semua ingin mengajak keluarganya umrah ke tanah suci. Bahkan nanti naik haji. Satu medali emas saat itu dapat bonus 1,5 M.
Mereka juga menyerahkan sepertiga bonus kepada organisasi yang menangani pembinaan atlet berkebutuhan khusus. Organisasi ini tidak dibiayai pemerintah. Jadi para penyandang cacat itu sudah berkomitmen menyerahkan tiga puluh persen untuk biaya pembinaan di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/ kota.
Antara Jilbab dan Medali
Ada catatan khusus buat Miftahul Jannah, atlet Blind Yudo (Yudo orang buta). Dia tidak berhasil mendapat medali, bahkan gagal bertanding terkena diskulifikasi karena memakai jilbab. Ketika dia tampil ke arena, dia mengenakan jilbab. Aturan Faderasi Yudo Internasional melarang atlet yudo bertanding dengan pakai tutup kepala. Alasannya untuk keselamatan atlet itu sendiri. Padahal Miftahul sudah berbulan-bulan tekun latihan dan sangat yakin dia bakal dapat medali.
Miftahul diminta melepaskan jilbabnya. Dirayu nanti setelah bertanding silakan pakai jilbab lagi. Tetapi Miftahul enggan melepas jilbab. Maka tinggal satu pilihan. Bertanding tanpa berjilbab atau berjilbab dan tidak boleh bertanding.
Miftahul memilih tidak bertanding. Memilih tidak mendapat medali daripada harus melepas jilbab. “Ketetapan Allah tidak boleh kalah dengan medali” katanya tegas. Kepada rekan-rekannya dia berseru agar bertanding dengan sungguh-sungguh dan harus mendapat mendali melebihi tarjet. Miftahul sebenarnya juga ingin membuktikan bahwa jilbab tidak menjadi penghalang aktivitas apapun.
Bagi seorang atlit, medali tingkat internasional adalah sebuah kebanggaan. Tetapi tidak bagi Miftahul jika itu harus melawan keyakinannya. Sungguh ini tidak gampang. Bakan kita saja belum tentu sanggup bersikap tegas sepertri Miftahul.
Atas peristiwa itu Faderasi Yudo Indonesia mengusulkan kepada Faderasi Yudo Internasional agar ketentuan larangan pakai jilbab ditijau ulang karena sudah banyak cabang bela diri lainnya yang juga tidak melarang berjilbab seperti Karate, Taekwondo dan Wushu. Memang masing-masing cabang tidak sama dalam cara bertanding. Namun sebenarnya tetap bisa disiasati. Mungkin dengan bentuk jilbab khusus.
Jika para atlet peraih medali emas itu berangkat umrah dengan uang bonusnya, maka Miftahul Jannah yang gagal bertanding justru kebanjiran hadiah umrah dan hadiah lain. adayang menanyakan nomer rekeningnya. Mereka yang memberi hadiah ini tersentuh oleh keteguhan Miftahul mempertahankan keyakinannya. Dia rela melepas kesempatan meraih medali demi mempertahankan jilbab.
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (mencari keridhaan) Kami, akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS.Al Ankabut 69)
=====