Setiap Ramadan tiba, salah satu hal yang selalu mewarnai adalah munculnya para wirausaha baru, khususnya yang musiman. Mereka mereka adalah orang yang berusaha memanfaatkan situasi, karena munculnya kesempatan untuk memperoleh pendapatan.
Dari mana? dari kebiasaan masyarakat yang senang menumpuk makanan baik karena malas atau karena ketiadaan waktu untuk memasak. Inilah yang sering disebut wirausaha yang muncul karena adanya revenue recognition (kesempatan untuk memperoleh pendapatan dari situasi yang berkembang pada saat itu.
Namun demikian, kondisi yang baik ini jangan hanya berhenti di bulan Ramadan saja. Begitu usai lebaran, usai pula usaha yang dijalankan.
Ramadan seharusnya dijadikan momentum untuk memulai usaha dan tidak hanya sekedar memanfaatkan kesempatan karena munculnya peluang dengan tetap memperhatikan rambu-rambu agama yang terkait.
Dengan begitu, usaha bukan lagi coba-coba, akan tetapi memang direncanakan dengan baik untuk waktu yang lebih panjang sebagai bagian upaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Usaha juga tidak mengarahkan pada jalan yang dilarang dalam ajaran Islam.
Salah satu hal yang harus mendapatkan perhatian dalam pandangan Islam jika usaha ingin berjalan dengan baik dan memberikan kemanfaatan, adalah bahwa usaha yang dikembangkan, bukanlah usaha yang dilarang dari sudut pandang agama.
Terdapat beberapa rambu-rambu usaha dalam pandangan Islam. Pertama, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Alquran adalah dihalalkannya kita melakukan jual beli (transaksi), akan tetapi diharamkan transaksi tersebut jika mengandung unsur riba.
Seorang muslim yang baik, tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukan kecurangan yang mengarah kepada riba. Misalnya mengurangi takaran, timbangan, dan sejenisnya.
Penulis pernah bertemu seorang kiai kampung yang tidak mau menjual bensin eceran dengan transaksi literan.
Saking hati-hatinya, yang disampaikan adalah transaksi dengan harga per botol. Dengan ini, dapat dipastikan bahwa transaksi yang dilakukan tidak mengandung unsur riba.
Kedua, barang yang ditransaksikan menurut agama bukan merupakan barang yang haram. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW mengajarkan bahwa barang yang dikonsumsi, maka haram pula harganya.
Ajaran ini harus dipedomani oleh seluruh umat muslim yang menjalankan usaha. Bisa jadi memang menghindari menjual barang yang memang dilarang. Bisa pula, karena sebab tertentu barang yang asalnya halal, karena proses tertentu yang salah, kemudian menjadi haram.
Contoh yang bisa dikemukakan terkait dengan proses ayam dari hidup sampai menjadi barang dagangan. Kalau penyembelihannya tidak sesuai dengan tata cara dalam Islam (misal tidak sampai memutus dua urat yang terkait dengan pernafasan dan jalur makanan), barang yang seharusnya halal tersebut, berubah menjadi haram.
Begitu juga saat usai disembelih, harus dipastikan hewan sudah mati. Setelah itu baru dilakukan proses berikutnya. Kalau ini tidak dilakukan, hewan yang seharusnya halal, akan berubah menjadi bangkai yang haram dikonsumsi.
Ketiga, tata cara dalam bertransaksi harus sesuai dengan aturan dalam Islam. Dalam Islam transaksi itu harus didasarkan pada keihlasan kedua belah pihak dan tidak mengandung unsur spekulasi yang ekstrim.
Islam melarang penjualan buah ketika masih berbunga saja, karena ada dua kemungkinan yang bisa menimbulkan penyesalan salah satu pihak yang bertransaksi. Misal semua bunga menjadi buah, bisa jadi menimbulkan kekecewaan pada penjualnya.
Begitu juga jika yang terjadi sebaliknya, maka pembeli akan merasa dirugikan. Islam juga melarang proses transaksi dengan dua harga yang berbeda dalam satu proses penawaran.
Misalnya kalau tunai sepuluh juta, akan tetapi jika dibayar dalam kurun waktu tertentu harga menjadi lima belas juta. Berbeda jika disampaikan dalam dua proses yang berbeda. Proses pertama dibatalkan terlebih dahulu, baru memulai pembicaraan model yang kedua.
Keempat, usaha juga harus memperhatikan aspek sosial dari usaha dan kekayaan. Dari aspek sosial, usaha yang dijalankan tidak boleh mengakibatkan kerugian atas usaha yang sudah dijalankan pihak lain yang telah eksis terlebih dahulu, agar tidak menimbulkan masalah. Atas usaha, juga harus diperhatikan fungsi sosial atas aset yang dijalankan.
Islam telah menegaskan kewajiban ini dalam instrumen keuangan sosial yaitu zakat, infak dan sedekah. Bahkan perintah menunaikan kewajiban zakat ini sering dibarengkan dengan perintah salat (Wa aqimussolata, wa atuzzakat).
Begitu pula, Alquran banyak menegaskan tentang pentingnya infak dan sedekah atas harta, karena Allah SWT telah menegaskan bahwa setiap kekayaan yang kita miliki itu ada hak orang lain (Az-Zariyat 19).
Insya Allah jika wirausaha muslim memperhatikan ini semua, usaha bisa menjadi jalan menuju surganya Allah SWT, karena telah memberikan kemanfaatan bagi orang lain.
Hadis Rasulullah SAW: sebaik-baik umat manusia, adalah mereka yang memberikan kemanfaatan bagi manusia lainnya.
Bagaimana dengan Anda? Wallahualam Bissawab. (*)