Gema adzan maghrib di penghujung Ramadhan 1446 H, mendai waktunya berbuka untuk yang terakhir karena Ramadhan telah berakhir dan berganti dengan masuknya bulan Syawal.
Lantunan suara takbir saling bersahutan dari masjid-masjid,surau-surau ,rumah bahkan dijalanan begitu terasa semarak dan gegap gempita dalam menyambut datangnya hari kemenangan yang telah ditunggu dan dinantikan setelah satu bulan penuh berjibaku berperang melawan hawa nafsu.
Hilir mudik panitia zakat mendatangi rumah-rumah fakir miskin dan asnaf yang lain untuk membagikan zakat fitrah juga turut mewarnai kegiatan masyarakat sepanjang malam.
Disisi yang lain, ada sebagian orang yang menyepi disudut-sudut masjid, terdengar lirih suara takbir keluar dari mulutnya. Sesekali mereka menyeka air mata yang menggenang dipelupuk matanya.
Walaupun dia menyadari Ramadhan pasti akan datang lagi pada tahun berikutnya, akan tetapi siapakah yang bisa menjamin bahwa tahun depan masih dapat bertemu Kembali.
Terbayang dalam pikirannya lintasan perjalanan Ramadhan yang baru saja dilaluinya, mulai dari hari pertama hingga akhir lantas dia bertanya kepada dirinya apakah puasa dan amal ibadahnya selama bulan suci Ramadhan diterima oleh Allah SWT ataukah justru sebaliknya, sehingga tidak membekas sama sekali dalam cacatan amal kebaikan yang tulis dan dihimpun oleh malaikat Rakib.
Begitulah ragam ekspresi yang ada dimasyarakat selaras dengan penghayatan spiritual dan social yang dilakukan hingga mentari tanggal 1 syawal mulai menampakkan diri.
Sebuah ritual akbar tahunan yang dilaksanakan secara gegap gempita laksana deklarasi kemenangan setelah melakukan peperangan besar melawan hawa nafsu.
Sabda sang nabi menembus ke relung hati sanubari ummatnya, sehingga hawa nafsu merupakan musuh utama yang harus diperangi dan ditaklukkan.
Akan tetapi bukan perkara mudah untuk mengalahkan apalagi menaklukkan hawa nafsu. Karena sejak awal manusia tercipta firman suci Tuhan menegaskan Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q. S. al-Syams 7-10)
Demikanlah menetapan Allah SWT yang kemudian dipahami hambanya bahwa Hawa nafsu merupakan kecenderungan jiwa yang mendorong seseorang untuk memenuhi apa yang diinginkan dan selalu mengajak untuk menempuh jalan kefasikan dan kesesatan.
Dalam roman yang dotulis oleh Ibnu sina tersebut dikisahkan Ketika sekawanan burung tertangkap oleh pemburu dan dimasukkan kedalam sangkar yang indah serta dilengkapi dengan berbagai jenis makanan dan minuman yang digemari burung-burung tersdebut, maka sekawanan burung itu menjadi terbiasa dan akhirnya jadi tidak tahu lagi bahwa diluar sangkarnya ada dunia yang lebih luas dan lebih indah yang dapat membuat mereka lebih Bahagia.
Manusia yang terperangkap dalam jeratan nafsunya juga mengalami amnesia bahwa ada kehidupan surgawi yang menanti dirinya Ketika bisa terbebas dari sangkar kemewahan fatamorgana dunia.
Dalam gambaran yang lebih extrim, manusia yang dikuasai dan dikendalikan oleh hawa nafsunya diibaratkan seperti Binatang yang hina.
Firman suci Tuhan pun menegaskan bahwa apakah kalian tidak melihat betapa banyak orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.
Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atas hal tersebut, atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahaminya, mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu. (QS. Al-Furqan: 43-44)
Demikian bahanya hawa nafsu tersebut apabila menguasai diri manusia sehingga haruslah diperangi dan dikendalikan.
Ramadhan merupakan momentum tahunan yang dijadikan sebagai wahana manusia untuk berperang dan mengendalikan hawa nafsunya sehingga jiwa manusia akan dikuasai oleh jalan ketakwaan yang membebaskan manusia dari belenggu nafsunya serta membawa diri manusia kepada jalan kebahagiaan dan keselamatan tidak hanya di kehidupan dunia yang singkat ini, akan tetapi lebih dari itu akan membawa manusia menuju puncak kenikmatan kehidupan kekal akhirat Ketika dihamparkan karpet merah oleh Tuhan yang merajai segalanya dengan seruan agungnya Masuklah kalian wahai orang-orang yang telah melakukan Ibadah Puasa Ramadhan dengan selamat dan penuh ketenangan melalui Pintu al-Rayyan yang memang dikhuskan bagi orang yang berpuasa.
Tidak hanya sebatas makanan, Hasrat memperindah tampilan dengan pakaian dan celana baru dari brand ternama juga menjadi bagaian dari tradisi lebaran kebanyakan masyarakat. Tampilan yang sudah maksimal tersebut masih dirasa kurang apabila tidak dilengkapi dengan perhiasan, handphone yang terbaru juga alat transportasi yang digunakan semuanya mengarah kepada sikap ujub dan takabbur atas kondisi yang dipertontonkan. Momentum Lebaran dijadikan sebagai festival untuk mempertontonkan kesuksesan duniawi yang sungguh sangat menyipang dari tujuan puasa itu sendiri.
Melihat realitas ini, lebaran yang dikatan sebagai Iedul Fitri yang dimaknai Kembali kepada kesucian yang bebas dari noda dosa seakan tenggelam oleh gegap gempinya pertunjukan yang mempertontonkan lakon pamer kesuksesan duniawi. Hal ini dapat terjadi karena penghayatan terhadap nilai-nilai spiritual puasa tidak dilakukan. Puasa yang dilakukan hanya sebatas menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum mulai munculnya fajar subuh hingga tenggelamnya matahari diwaktu magrib. Puasa yang dilakukan tidak dibersamai dengan menahan diri dari sifat hasud, iri, dengki, ujub, riya’ takabbur dan semisalnya. Puasa yang demikian itu tentunya tidak akan membawa kepada iedul fitri karena pada hakekatnya mereka tidak melakukan puasa. Mereka hanya mengatur pola dan merubah jam makan serta minum saja tanpa jihad untuk berperang dalam mengendalikan nafsunya secara substantif.
Menjadi Pribadi yang Fitri
Ada ungkapan yang menarik dari Imam Ali bin Abi Thalib yang mengatakan setiap hari di mana kamu tidak melakukan maksiat kepada Allah SWT adalah hari raya. Selaras dengan ungkapan tersebut lebih lanjut dikatan bahwa Idul Fitri bukan milik mereka yang berpakaian baru, akan tetapi milik mereka yang ketaatannya semakinmeningkat. Iedul fitri juga bukan juga milik mereka yang membaguskan busana dan kendaraannya, akan tetapi milik mereka yang diampuni segala dosa-dosanya. Dengan demikian ciri pribadi yang iedul fitri adalah mereka yang diampuni dosa-dosanya oleh Allah serta semakin meningkat ketaatannya kepada Allah setelah ramadhan berlalu.
Predikat Muttaqien merupakan gelar teologis yang disematkan kepada mereka yang telah menjalani puasa.
Firman sucipun menegaskan bahwa kewajiban puasa yang juga diwajibkan atas ummat terdahulu bertujuan untuk membentuk pribadi yang bertaqwa.
Begitu istimewanya pribadi yang bertaqwa tersebut sehingga Allah SWT secara khusus menyiapkan surga yang digambarkan seluas langit dan bumi.
Penegasan firman suci tersebut secara jelas termaktub dalam kitab suci yang berbunyi: Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. (Qs. Ali Imran : 133-134)
Karakter muttaqien yang terbentuk melalui proses puasa yang dilakukan sepanjang ramadhan adalah bersemainya sifat kedermawanan dan murah hati dalam kondisi apapun.
Sifat dermawan dan murah hati ini tidak lantas menjadikan kita pamer sedekah yang bernilai fantastis sebagaimana marak ketika bulan ramadhan.
Dalam berbagai pemberitaan banyak orang dermawan memberikan uang kepada para jamaah yang melakukan shalat tarawih didaerahnya hingga menyentuh angka milliaran rupiah.
Tentunya sedekah paling utama adalah sedekah “Sirr” yang tangan kirinya pun tidak mengetahuinya. Sedekah yang hanya berharap ridho Allah SWT bukan pujian manusia, apalagi hanya untuk konten media sosial agar menjadi Viral belaka.
Karakter Muttaqien juga terlihat pada mereka yang mampu menahan amarahnya. Amarah merupakan bagian dari nafsu yang harus dikendalikan. Al ghazali mengatakan Nafsu amarahlah yang selalu memerintah keburukan, nafsu yang menghimpun kuatnya rasa marah, selalu diikuti sifat-sifat tercela, jauh dari Allah, dan termasuk bala tentara atau langkah setan untuk mengarahkan manusia kepada penyesalan dan kebinasaan. Tentunya mereka yang mampu menahan amarahnya merupakan pribadi yang Istimewa terlebih tidak ada yang dapat keluar dari jeratan keburukan nafsu ammarah ini kecuali berkat karunia dan pertolongan Allah. Menahan dan mengendalikan amarah merupakan sifat utama dari pribadi yang tercerahkan setelah melakukan ritual puasa ramadhan.
Karakter Muttaqien selanjutnya adalah mereka yang memiliki jiwa pemaaf. Memang berat untuk dapat berlapang dada terhadap kedzaliman yang menimpa diri kita apalagi memaafkannya. Akan tetapi itulah cerminan kebersihan hati dan jiwa dari orang yang sukses puasanya, sehingga Allah pun menyematkan predikat orang yang paling mulya disisinya. Dalam firman suci dijrlaskan sesungguhnya yang paling mulya disisiku adalah yang paling bertaqwa. Jiwa pemaaf adalah cerminan dari ketaqwaan dan juga menjadi pertanda akan keimanan yang paling utama.
Dalam kontenks ini sang Rasul bersabda, Wahai Uqbah, bagaimana jika aku beritahuhkan kepadamu tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah engkau menyambung persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, hendaklah engkau memberi kepada orang yang tidak memberimu, dan maafkanlah orang yang telah menzalimimu.
Selamat hari raya Iedul Fitri semoga kita menjadi pribadi yang fitri suci dari noda dosa setelah dibersihkan melalui serangkaian ibadah puasa ramadhan yang telah kita jalani. Semoga kita dipertemukan kembali dengan bulan suci ramadhan pada tahun berikutnya. amin
Artikel ini ditulis oleh Dr H M Hasan Ubaidillah, Wakil Sekretaris MUI Jatim dalam program Hikmah Ramadhan kerja sama MUI Jatim dengan Tribun Jatim dan Harian Surya.