Era digital telah menghadirkan tantangan baru dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan. Jika dahulu puasa identik dengan pengendalian nafsu makan dan biologis, kini umat Islam dihadapkan pada urgensitas mengendalikan “nafsu digital” yang tak kalah menuntut.
Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 183 yang menegaskan kewajiban puasa untuk mencapai ketakwaan, konteks modern mengharuskan kita memaknai ulang esensi pengendalian diri di tengah gempuran teknologi digital.
Dalam tafsirnya, Imam Ar-Razi menjelaskan bahwa puasa merupakan sarana untuk menghasilkan ketakwaan melalui pengendalian syahwat dan penekanan hawa nafsu. Di era digital, syahwat ini telah bertransformasi menjadi kebutuhan kompulsif akan validasi sosial media, ketagihan scrolling tanpa henti, dan konsumsi konten yang tak terkendali. Fenomena ini menciptakan bentuk “syahwat” baru yang perlu dikendalikan sebagaimana puasa mengendalikan nafsu primer manusia.
Data terbaru menunjukkan bahwa rata-rata pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam sehari untuk scrolling timeline. Angka ini meningkat signifikan selama Ramadhan, di mana waktu luang yang seharusnya digunakan untuk ibadah justru tersita oleh aktivitas digital yang tidak produktif. Kondisi ini menggarisbawahi pentingnya konsep “puasa digital” sebagai bagian integral dari ibadah puasa di era modern.
Transformasi makna puasa menjadi keniscayaan ketika kita memahami bahwa nafsu yang perlu dikendalikan tidak lagi terbatas pada urusan perut dan kemaluan sebagaimana disebutkan dalam literatur klasik. Kecanduan media sosial, FOMO (Fear of Missing Out), dan kebutuhan akan validasi online telah menjadi bentuk “syahwat” kontemporer yang tak kalah menuntut untuk dikendalikan.
Dalam konteks ini, puasa digital menawarkan paradigma baru dalam memahami esensi pengendalian diri. Sebagaimana puasa tradisional membatasi konsumsi makanan dan minuman dari terbit hingga terbenamnya matahari, puasa digital mengajak kita untuk membatasi konsumsi konten digital yang tidak esensial. Hal ini sejalan dengan spirit puasa yang dijelaskan Imam Ar-Razi sebagai sarana untuk mencapai ketakwaan melalui pengendalian diri yang komprehensif.
Prioritas penggunaan waktu selama Ramadhan menjadi aspek krusial yang perlu diperhatikan. Alih-alih menghabiskan waktu berjam-jam untuk scrolling feed media sosial, momentum puasa seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan intensitas membaca Al-Quran dan ibadah lainnya. Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Ar-Razi, puasa dimaksudkan untuk mengendalikan hawa nafsu dan mencapai ketakwaan. Dalam konteks modern, ini berarti kita perlu mengevaluasi dan menata ulang penggunaan waktu luang di bulan Ramadhan, mengutamakan ibadah dan tilawah Al-Quran daripada aktivitas media sosial yang kurang bermanfaat.
Fenomena ini menjadi ironis mengingat Ramadhan merupakan bulan diturunkannya Al-Quran, di mana seharusnya momen ini dioptimalkan untuk tadarus dan tadabbur ayat-ayat suci. Ketika notifikasi media sosial lebih sering dibuka dibandingkan mushaf Al-Quran, maka esensi Ramadhan sebagai bulan peningkatan ketakwaan mulai tereduksi. Padahal, sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Ar-Razi, puasa bertujuan untuk membebaskan manusia dari belenggu hawa nafsu, termasuk kecanduan digital yang menyita waktu berharga.
Implementasi puasa digital dapat dimulai dengan langkah-langkah praktis seperti menetapkan “jam digital iftar” – waktu-waktu tertentu di mana kita membatasi penggunaan media sosial dan mengalihkannya untuk tilawah Al-Quran atau dzikir. Berbagai penelitian tentang digital wellbeing menunjukkan bahwa pembatasan penggunaan media sosial secara teratur dapat meningkatkan fokus, mengurangi tingkat kecemasan, dan membantu seseorang untuk lebih produktif dalam aktivitas spiritualnya.
Lebih jauh lagi, konsep puasa digital sejalan dengan esensi puasa yang dijelaskan dalam Al-Quran dan tafsir Ar-Razi tentang pengendalian hawa nafsu (انْكِسَارِ الشَّهْوَةِ وَانْقِمَاعِ الْهَوَى). Dalam konteks digital, ini berarti tetap menjaga kesadaran dan pengendalian diri saat berinteraksi dengan dunia maya. Ketika godaan untuk terus-menerus mengecek media sosial muncul, ingatlah bahwa esensi puasa adalah pengendalian diri untuk mencapai derajat ketakwaan yang lebih tinggi, sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 183.
Ramadhan di era digital membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif dalam memahami dan mengimplementasikan konsep pengendalian diri. Ketika waktu yang seharusnya digunakan untuk membaca Al-Quran, berdzikir, atau melakukan ibadah lainnya justru tersita oleh scrolling media sosial tanpa batas, maka urgensi puasa digital menjadi semakin relevan. Ini bukan sekadar tentang membatasi penggunaan media sosial, tetapi lebih kepada mengembalikan fokus Ramadhan pada esensinya sebagai bulan peningkatan ketakwaan.
Di tengah maraknya tren “Ramadhan Content Creator” yang kini menjadi fenomena baru di media sosial, perlu ada keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan penjagaan esensi ibadah. Meskipun niat untuk berbagi konten positif patut diapresiasi, namun jika dilakukan secara berlebihan justru dapat menggeser fokus utama Ramadhan dari ibadah menjadi sekadar aktivitas digital. Hal ini perlu menjadi perhatian serius mengingat tujuan utama puasa sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran adalah pencapaian derajat ketakwaan.
Dalam implementasi puasa digital, diperlukan komitmen personal untuk membatasi dan menata ulang pola konsumsi media sosial. Beberapa langkah praktis yang bisa diterapkan antara lain: mematikan notifikasi media sosial selama waktu-waktu utama ibadah, menetapkan jadwal khusus untuk mengecek media sosial (misalnya hanya setelah shalat Isya), dan mengalihkan waktu scrolling untuk membaca Al-Quran digital atau mendengarkan kajian-kajian keislaman yang bermanfaat.
Tantangan terbesar dalam menerapkan puasa digital adalah melawan kecenderungan FOMO (Fear of Missing Out) yang telah menjadi bagian dari gaya hidup modern. Namun, sebagaimana puasa mengajarkan pengendalian diri terhadap makanan dan minuman, puasa digital juga membutuhkan tekad kuat untuk mengendalikan “nafsu digital”. Ingatlah bahwa setiap notifikasi yang tidak penting yang kita abaikan selama Ramadhan bisa jadi merupakan bentuk latihan pengendalian diri yang bernilai ibadah.
Dalam perspektif yang lebih luas, puasa digital dapat menjadi pintu masuk untuk memahami makna puasa yang lebih dalam di era modern. Ketika kita mampu mengendalikan ketergantungan pada media sosial selama Ramadhan, kita sebenarnya sedang melatih diri untuk mencapai esensi puasa yang dijelaskan dalam tafsir Ar-Razi: membebaskan diri dari belenggu hawa nafsu dan mencapai derajat ketakwaan yang lebih tinggi.
Artikel ini ditulis oleh HM Sholeh Wafie, Arbiter Basyarnas MUI Jawa Timur dalam program Hikmah Ramadhan kerja sama MUI Jawa Timur dengan Tribun Jatim dan Harian Surya.