Seorang pembaca Majalah Aula bersilaturrahmi ke ketua komisi fatwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur KH Ma’ruf Khozin bersama keluarganya untuk bertanya terkait memutuskan hukum seputar waris. Meskipun Nabi menyebut bahwa ilmu waris secara Islam adalah ilmu yang pertama dicabut, namun bukan berarti tidak ada yang mengamalkan sama sekali:
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهَا فَإِنَّهُ نِصْفُ الْعِلْمِ وَهُوَ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي
“Wahai Abu Hurairah. Belajarlah ilmu Faraid dan ajarkanlah. Faraid adalah separuh ilmu yang dilupakan. Faraid adalah ilmu yang pertama dicabut dari umatku” (HR Ibnu Majah)
Keluarga ini datang kepada Kiai Ma’ruf untuk mengetahui tata cara waris yang harus dibagikan kepada keluarganya.
Kiai Ma’ruf Khozin bersyukur saat menemui keluarga itu ditemani para Asatidz Alumni Sidogiri yang lebih ahli dibidang harta waris untuk menyampaikan harta tersebut kepada para pemiliknya sesuai petunjuk Al-Qur’an.
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Bagikan harta ini diantara ahli waris sesuai dengan kitab Allah. Harta tinggalan adalah untuk lelaki terdekat” (HR Muslim)
Ada sesepuh keluarga yang menanyakan mengapa ada keponakan wanita tidak dapat bagian? Kiai Ma’ruf mencoba menjelaskan secara rasional bahwa di dalam Islam yang berkewajiban untuk kerja dan memberi nafkah adalah laki-laki, sehingga laki-laki yang diberi porsi lebih banyak, karena tugasnya lebih banyak dan bukan karena diskriminasi.
Dan kami memberi opsi akhir untuk dibagi secara sukarela setelah diketahui bagian masing-masing ahli waris, sebagaimana Fatwa ulama Al-Azhar:
“Saudara-saudara laki-laki boleh memberi bagiannya setelah mereka menerima haknya kepada keponakan perempuan. Ini adalah tanazul (tidak mengambil hak secara penuh) yang diperbolehkan dalam Agama. Maka bagian mereka kembali kepada keponakannya,” (Fatawa Al-Azhar, 3/338)
Kiai muda jebolan Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri ini bersyukur karena para keluarga sama-sama legawa, suasana pun menjadi tenang, tidak setegang awal pertemuan. Kiai Ma’ruf kemudian kenapa masih berkenan menjalankan waris secara Islam? Ternyata salah satu dari orang tua mereka adalah santri Tebuireng dan menjumpai Hadratusy Syekh Hasyim Asy’ari selama dua bulan. Dan lebih banyak nyantri kepada KH Wahid Hasyim, ayahanda Gus Dur.
Sumber : Fecebook KH Ma’ruf Khozin (18/01/2022)