MUIJatim– Menyikapi perkembangan politik mutakhir, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur turun gunung dengan mengeluarkan surat edaran. Hari ini, Sabtu (22/8/2020) MUI Jatim mengeluarkan edaran perihal ‘penyampaian pokok pikiran terkait dengan perkembangan politik mutakhir’ .
Surat yang diteken Ketua Umum MUI Jatim, KH Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum, H Ainul Yaqin, terkait ancaman keretakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Mencermati perkembangan politik akhir-akhir ini, yang memperlihatkan adanya kondisi yang berpotensi membawa pada keretakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur merasa perlu menyampaikan hal sebagai berikut,” demikian disampaikan MUI Jawa Timur kepada MUI Pusat.
Ada 6 point penting yang disampaikan dalam surat Nomor: 44/MUI/JTM/VIII/2020:
- Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mencanangkan diri sebagai organisasi yang mengusung prinsip wasathiyatul Islam, sebagaimana disampaikan dalam Taujihat Surabaya, yang dilandasi Firman Allah dalam QS. al-Baqarah [2] ayat 143. Dengan merujuk pada penjelasan para ulama tentang makna wasathiyah yakni adil, yang dapat diartikan sebagai sikap konsisten di jalur kebenaran (al-istiqamah ala thariq al-haq), condong kepada kebenaran ketika menghadapi pertentangan antara haq dan bathil (al-Mailu ila al-Haq), serta mendudukkan sesuatu pada tempat dan proporsinya (isti’mal al-umur fi mawadhi’iha), maka MUI sebagai lembaga Islam, seyogyanya terus berusaha berpegang pada al-Qur’an dan al-Sunnah dengan manhaj pemahaman yang diikuti oleh para salaf al-shaleh. Di sisi lain, sebagai lembaga yang dibentuk di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, berusaha mengikuti pedoman yang telah disepakati dalam peraturan perundang-undangan, dengan berupaya agar pertumbuhan perundang-undangan tidak berbenturan dengan kerangka berfikir keagamaan (Islam).
- Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagaimana juga telah dirumuskan dalam wawasan organisasinya yang diantaranya berorientasi pada prinsip hurriyah (independen) dan istijabiyah (responsif), serta mempunyai misi salah satunya amar makruf nahi munkar, maka menuntut secara kelembagaan untuk senantiasa tanggap dan peduli terhadap berbagai perkembangan yang berpotensi menimbulkan kemudharatan, baik menyangkut masalah ke-Islaman, keumatan, maupun terkait dengan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
- Berangkat dari dua poin di atas (poin 1 dan 2), MUI sepatutnya memberikan pandangannya, sehubungan dengan perkembangan mutakhir, khususnya berkaitan dengan RUU HIP, RUU BPIP dan RUU Cipta Kerja yang telah menimbulkan kegaduhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
- MUI Provinsi Jawa Timur telah ikut dalam pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh MUI Pusat sebagaiamana maklumat bersama terkait dengan RUU HIP. RUU HIP jelas-jelas berpotensi memecah belah bangsa dan meruntuhkan konsensus kebangsaan, khususnya Pancasila sebagaimana rumusan yang disepakati yakni yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. RUU HIP juga berbenturan dengan tertib perundang-undangan di Indonesia, khususnya yang sudah diatur dengan UU No. 12 tahun 2011. Karena itu, dengan tegas keberadaan RUU HIP harus ditolak.
- Mengingat bahwa keberadaan RUU HIP yang muncul dari usulan DPR RI dan sudah masuk dalam agenda pembahasan di DPR RI, maka MUI perlu meminta kepada DPR RI dan Presiden RI untuk mencabutnya sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam pasal 70 UU. No. 12 tahun 2011.
- Selanjutnya berkaitan dengan BPIP dan RUU BPIP, sikap MUI seyogyanya mengacu pada keputusan Kongres Umat Islam (KUII) di Pangkal Pinang yang diinisiasi oleh MUI. Ada alasan yang jelas disampaikan dalam KUII, bahwa adanya lembaga baru yang diberi otoritas oleh pemerintah untuk menjadi pengawal dan penerjemah Pancasila bukan menyelesaikan masalah, tetapi bisa menimbulkan masalah, dan saling tubrukan dengan perundang-undangan yang ada. UU No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 5, sudah memberikan mandat kepada MPR untuk melaksanakan tugas antara lain: memasyarakatkan ketetapan MPR; memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika; mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Keberadaan MPR sebagai lembaga yang dibentuk melalui pemilihan umum sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 pasal 2 ayat (1) lebih mempunyai legitimasi dan otoritatif untuk melaksanakan tugas sebagaimana disebut dalam pasal 5 UU no. 17 tahun 2014, dibandingkan dengan keberadaan lembaga yang baru. Selain itu, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 2 juga menyatakan bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, internalisasi nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam pendidikan secara otomatis juga menjadi tanggungjawab kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berserta seluruh jajarannya. Dengan demikian, sikap yang ditunjukkan dalam rekomendasi KUII adalah tepat sehingga MUI tinggal memperteguh kembali.
- Terhadap RUU Cipta kerja, hemat kami MUI juga perlu mengingatkan agar DPR dan Pemerintah berhati-hati jangan sampai negara ini dibawa pada kebijakan yang mencederai rakyatnya sendiri. Banyak pasal-pasal bermasalah seperti terkait tenaga kerja, terkait dengan sertifikasi halal, dan sebagainya yang harus ditinjau kembali. Kami mendukung adanya sikap MUI untuk memberikan masukan dan koreksi dalam masalah ini. * (Sumber: Duta.co)