Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb. Apakah ada pendapat yang membolehkan membaca al-Fatihah ketika shalat tidak harus keluar suara? Terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb.
Rofi’ah, Bojonegoro
Jawaban:
Saudari Rofi’ah yang berbahagia,
Membaca Surat al-Fatihah dalam shalat, menurut mayoritas ulama yaitu Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad ibn Hanbal merupakan kewajiban dalam shalat. Jika seseorang meninggalkannya padahal ia mampu membacanya maka shalatnya tidak sah.
Dalil kewajiban ini adalah hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh sahabat Ubadah bin Shamit, bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat seseorang yang tak membaca al-Fatihah.”(HR. al-Bukhari, no. 714).
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah:
مَنْ صَلَّى صَلَاةً، لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ، فَهِيَ خِدَاجٌ– ثَلاَثًا – غَيْرُ تَمَامٍ
“Barangsiapa shalat namun tak membaca Ummul Qur’an, maka shalatnya kurang – Nabi mengulang sabda ini sebanyak tiga kali – yaitu tidak sempurna.” (HR. Muslim, no. 598).
Sudah maklum, mayoritas umat Islam di Indonesia bermadzhab Syafi’i, yang berkeyakinan tentang wajibnya membaca surat al-Fatihah ini dalam shalat. Terdapat perbedaan lain dalam masalah ini, yaitu apakah bagi seorang makmum wajib membaca al-Fatihah atau tidak dalam shalatnya. Namun tentu hal ini bukan menjadi pertanyaan saudari dan tidak menjadi pembahasan kita kali ini.
Saudari menanyakan, apakah ada pendapat ulama yang memperbolehkan membaca al-Fatihah ketika shalat tidak harus keluar suara?
Shalat dengan ‘membaca’ al-Fatihah dengan tidak mengeluarkan suara, atau tanpa menggerakkan lisan dan kedua bibir, hukumnya tidak sah. Mengenai hal ini, kami tidak menemukan adanya perbedaan pendapat di antara para ulama.
Ulama hanya berbeda pendapat mengenai ukuran atau standar suara yang keluar tersebut. Mayoritas ulama menyatakan, suara yang keluar tersebut wajib didengar sendiri oleh yang melafalkannya. Sementara pendapat kedua menyatakan, suara tersebut cukup dikeluarkan dari makhraj atau tempat keluarnya, meski ia sendiri tidak mendengarnya. Pendapat kedua ini menjadi salah satu pendapat dalam madzhab Maliki.
Syaikh Muhammad bin Ahmad Ulaisy yang bermadzhab Maliki menjelaskan:
(وَ) الرَّابِعَةُ (سِرٌّ) أَقَلُّهُ لِرَجُلٍ حَرَكَةُ لِسَانٍ بِدُونِ إسْمَاعِ نَفْسِهِ وَأَعْلَاهُ إسْمَاعُ نَفْسِهِ فَقَطْ
“… yang keempat adalah (bacaan pelan), yang paling minimal adalah seorang lelaki menggerakkan lisannya tanpa memperdengarkan (bacaan) kepada dirinya sendiri, dan yang paling maksimal adalah ia memperdengarkan (bacaan) itu hanya kepada dirinya sendiri.” (Ulaisy, al-Manh al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, jilid 1, hal. 252)
Pada bagian lain kitab ini, beliau menjelaskan:
وَ) خَامِسُهَا (فَاتِحَةٌ) أَيْ قِرَاءَتُهَا (بِحَرَكَةِ لِسَانٍ) فَلَا يَكْفِي إجْرَاؤُهَا عَلَى الْقَلْبِ بِدُونِ حَرَكَةِ لِسَانٍ( عَلَى إمَامٍ وَفَذٍّ) لَا عَلَى مَأْمُومٍ وَتَكْفِي إنْ أَسْمَعَ بِهَا نَفْسهُ بَلْ (وَإِنْ لَمْ )يُسْمِعْ نَفْسَهُ) فإنه يكفي في أداء الواجب
“… yang kelima adalah (membaca) al-Fatiḥah, yaitu membacanya dengan menggerakkan lisan. Maka tidak cukup hanya membacanya dalam hati tanpa menggerakkan lisan, bagi imam dan orang yang shalat sendirian (munfarid), bukan bagi makmum. Cukup jika ia memperdengarkan bacaannya kepada dirinya sendiri, bahkan jika ia tidak memperdengarkan kepada dirinya pun, itu sudah cukup dalam menunaikan kewajiban.” (Ulaisy, al-Manh al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, jilid 1, hal. 246-247)
Syaikh Ibnu Naji al-Tanukhi dalam syarah beliau untuk kitab Matn al-Risalah menegaskan:
اِعْلَمْ أَنَّ أَدْنَى السِّرِّ أَنْ يُحَرِّكَ لِسَانَهُ بِالْقُرْآنِ، وَأَعْلَاهُ أَنْ يُسْمِعَ نَفْسَهُ فَقَطْ، فَمَنْ قَرَأَ فِي قَلْبِهِ فَكَالْعَدَمِ، وَلِذَلِكَ يَجُوزُ لِلْجُنُبِ أَنْ يَقْرَأَ فِي قَلْبِهِ
“Ketahuilah bahwa tingkatan paling rendah dari (bacaan) secara sirr (pelan) adalah menggerakkan lisannya dengan (membaca) al-Qur’an, dan yang paling tinggi adalah memperdengarkan bacaannya hanya kepada dirinya sendiri. Maka barang siapa yang membaca hanya di dalam hatinya (tanpa menggerakkan lisan), maka itu seperti tidak membaca. Oleh karena itu, orang yang junub dibolehkan membaca (al-Qur’an) di dalam hatinya.” (Syarh Ibni Naji al-Tanukhi ‘ala Matn al-Risalah, Jilid 1, hal. 160)
Para ulama madzhab Maliki yang berpendapat dengan standar terendah suara yang keluar ini pun, ternyata juga tetap mewajibkan orang yang shalat untuk membaca dengan harus keluar suara. Tak cukup misalnya dengan membaca al-Fatihah di dalam hati atau dengan tanpa menggerakkan lisan dan kedua bibir.
Dalam kitab Mawahib al-Jalil ditambahkan:
زَادَ فِي شَرْحِ الْمُدَوَّنَةِ: فَمَنْ قَرَأَ فِي قَلْبِهِ فِي الصَّلَاةِ فَكَالْعَدَمِ، وَلِذَلِكَ يَجُوزُ لِلْجُنُبِ أَنْ يَقْرَأَ فِي قَلْبِهِ. وَقَالَ ابْنُ عَرَفَةَ: وَسَمِعَ سُحْنُونٌ ابْنَ الْقَاسِمِ: تَحْرِيكُ لِسَانِ الْمُسِرِّ فَقَطْ يُجْزِئُهُ، وَأَحَبَّ إِسْمَاعَ نَفْسِهِ
“Disebutkan tambahan dalam Syarh al-Mudawwanah: Barang siapa membaca (Al-Qur’an) hanya di dalam hatinya dalam salat, maka hukumnya seperti tidak membaca. Oleh karena itu, orang yang junub dibolehkan membaca dalam hatinya. Ibnu ‘Arafah berkata: Sahnun mendengar dari Ibnu al-Qasim bahwa menggerakkan lisan oleh orang yang membaca secara sirr (pelan) saja sudah mencukupi (syarat sahnya), namun ia (Ibnu al-Qāsim) menyukai jika ia memperdengarkan bacaan itu kepada dirinya sendiri.” (al-Haththab, Mawahib al-Jalil, jilid 1, hal. 525)
Kesimpulannya mengenai hal ini paling tidak ada dua. Pertama, kita wajib membaca surat al-Fatihah – demikian pula bacaan wajib lainnya dalam shalat – dengan benar-benar membaca. Bukan ‘membaca’ dengan tanpa mengeluarkan suara, atau membacanya dalam hati. Mengenai hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama.
Kedua, meski terdapat dua pendapat mengenai standar suara yang keluar dari orang yang melaksanakan shalat, kita memilih untuk mengamalkan pendapat pertama, yaitu dengan ukuran kita dapat mendengarkan bacaan kita sendiri. Pendapat ini dipilih karena lebih hati-hati dan keluar dari khilaf atau perbedaan pendapat ulama.
Kita membaca dengan seukuran kita sendiri dapat mendengarnya tersebut, tentu dalam kondisi telinga normal dan situasi normal. Sedangkan dalam kondisi ramai, misalnya masjid tempat kita melaksanakan shalat berada di pinggir jalan dengan suara lalu lalang mobil, atau terdapat suara kipas angin di masjid, maka kita cukup membaca dengan seukuran seandainya suasana sepi kita bisa mendengar bacaan tersebut.
Al-Imam an-Nawawi menjelaskan:
وَأَدْنَى الْإِسْرَارِ أَنْ يُسْمِعَ نَفْسَهُ إِذَا كَانَ صَحِيحَ السَّمْعِ وَلَا عَارِضَ عِنْدَهُ مِنْ لَغَطٍ وَغَيْرِهِ، وَهَذَا عَامٌّ فِي الْقِرَاءَةِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّسْبِيحِ فِي الرُّكُوعِ وَغَيْرِهِ، وَالتَّشَهُّدِ وَالسَّلَامِ وَالدُّعَاءِ، سَوَاءٌ وَاجِبُهَا وَنَفْلُهَا، لَا يُحْسَبُ شَيْءٌ مِنْهَا حَتَّى يُسْمِعَ نَفْسَهُ إِذَا كَانَ صَحِيحَ السَّمْعِ وَلَا عَارِضَ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ رَفَعَ بِحَيْثُ يُسْمِعُ لَوْ كَانَ كَذَلِكَ، لَا يُجْزِئُهُ غَيْرُ ذَلِكَ، هَكَذَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ، وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ. قَالَ أَصْحَابُنَا: وَيُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يَزِيدَ عَلَى إِسْمَاعِ نَفْسِهِ. قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الأُمِّ: يُسْمِعُ نَفْسَهُ وَمَنْ يَلِيهِ، لَا يَتَجَاوَزُهُ
“Tingkatan paling rendah dari bacaan sirr (pelan) adalah ia memperdengarkan kepada dirinya sendiri, jika ia dalam keadaan normal pendengarannya dan tidak ada gangguan seperti kebisingan atau semacamnya. Dan hal ini bersifat umum untuk bacaan, takbir, tasbih saat rukuk dan selainnya, tasyahud, salam, dan doa — baik yang wajib maupun yang sunnah. Tidak dihitung (sah) apa pun dari itu semua hingga ia memperdengarkan kepada dirinya sendiri jika pendengarannya normal dan tidak ada gangguan. Jika tidak demikian, maka ia harus mengeraskan suara secukupnya sehingga seandainya pendengarannya normal, ia bisa mendengarnya. Selain itu tidak mencukupi. Demikianlah yang ditegaskan oleh Imam asy-Syāfi‘i dan disepakati oleh para sahabatnya. Para ulama kami (madzhab Syafi‘i) berkata: Disunnahkan untuk tidak melebihi dari memperdengarkan kepada dirinya sendiri. Imam asy-Syāfi‘i berkata dalam al-Umm: Ia memperdengarkan kepada dirinya dan orang yang berada di dekatnya, namun tidak lebih dari itu.” (al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 3, hal. 295)
Syaikh Ibnu Qudamah menjelaskan:
يَجِبُ عَلَى الْمُصَلِّي أَنْ يُسْمِعَ نَفْسَهُ ـ يَعْنِي: التَّكْبِيرَ ـ إِمَامًا كَانَ أَوْ غَيْرَهُ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ بِهِ عَارِضٌ مِنْ طَرَشٍ، أَوْ مَا يَمْنَعُهُ السَّمَاعَ، فَيَأْتِيَ بِهِ بِحَيْثُ لَوْ كَانَ سَمِيعًا أَوْ لَا عَارِضَ بِهِ سَمِعَهُ، وَلِأَنَّهُ ذِكْرٌ مَحَلُّهُ اللِّسَانُ، وَلَا يَكُونُ كَلَامًا بِدُونِ الصَّوْتِ، وَالصَّوْتُ مَا يَتَأَتَّى سَمَاعُهُ، وَأَقْرَبُ السَّامِعِينَ إِلَيْهِ نَفْسُهُ، فَمَتَى لَمْ يُسْمِعْهُ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ أَتَى بِالْقَوْلِ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ فِيمَا ذَكَرْنَاهُ
“Wajib bagi orang yang salat untuk memperdengarkan (takbir) kepada dirinya sendiri — maksudnya: takbiratul ihram — baik ia menjadi imam maupun bukan, kecuali jika ia memiliki halangan seperti tuli atau sesuatu yang menghalanginya untuk mendengar. Maka ia mengucapkannya dengan kadar yang seandainya ia bisa mendengar atau tidak ada penghalang, niscaya ia akan mendengarnya. Karena itu adalah zikir yang tempatnya adalah lisan, dan tidak disebut ucapan tanpa suara, sedangkan suara adalah sesuatu yang bisa didengar, dan yang paling dekat untuk mendengarnya adalah dirinya sendiri. Maka kapan ia tidak memperdengarkan kepada dirinya, ia tidak mengetahui apakah ia telah mengucapkan kalimat itu atau belum. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal yang kami sebutkan ini.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, jilid 2, hal. 128)
Wallahu a’lam bish-shawab.