Surabaya, MUIJatim.org – Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tim menggelar sidang dengan tema ‘Batasan Penggunaan Online dalam Beribadah’ pada Rabu (21/04/2021) di Surabaya. Sidang ini untuk mengkritisi fenomena baru yakni shalat Jumat Virtual.
Shalat Jumat virtual yang diinisiasi oleh Prof Kamaruddin Hidayat dan Dr Imam Nakhoi. Shalat Jumat virtual ini dilatar belakangi oleh kerinduan umat muslim di Jakarta yang sudah satu tahun tidak shalat Jumat di masjid karena pandemi Covid-19. Untuk mengobati kerinduan Jumatan, dibuatlah inisiatif shalat Jumat virtual.
Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Ma’ruf Khozin, dengan tegas mengatakan bahwa fenomena shalat Jumat virtual tidak sah, hal itu didasarkan pada pendapat para ulama yang menolak pendapat Syekh Ahmad Al Ghumari dari Maroko.
“Syekh Ahmad Al Ghumari dari Maroko, di masa tahun 70-80 masehi, membuat statement tentang diperbolehkannya jumatan menggunakan radio. Jika ada radio kemudian dilaksanakan shalat Jumat sementara makmum dan imamnya berbeda lokasi, maka hukumnya sah,” terang Kiai Ma’ruf.
Namun statement Syekh Ahmad Al Ghumari mendapat penolakan dari berbagai kalangan ulama saat itu. “Ternyata di masa itu sudah banyak penolakan dari ulama Al Azhar, Mesir. Sebab tujuan shalat Jumat itu berkumpul atau berjamaah. Kemudian jika ini dilakukan sendiri-sendiri, maka tidak ada perkumpulan,” tegasnya.
Alasan yang kedua karena dalam shalat berjamaah ada syarat, yaitu imam dan makmum harus berada di satu area, agar makmum bisa melihat imam. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka, tidak sah shalat jumatnya.
“Semisal berada dalam satu masjid, jika imam berada di bawah dan makmum berada di atas, maka makmum harus bisa melihat dan mengetahui gerakan imam. Jika ini dilakukan virtual jelas tidak bisa, karena bisa jadi imamnya berada di Situbondo, sedangkan makmumnya di Jakarta” tambahnya.
Ketiga, jika mengandalkan internet, koneksinya bisa mati atau putus-putus karena tidak stabil saat shalat berlangsung. “Jadi shalat berjamaah tidak bisa mengandalkan internet, karena imam dan makmum harus di satu tempat,” ucapnya.
“Jika memang, lanjut Kiai Ma’ruf, pandemi menjadi penyebab tidak ada shalat Jumat karena pemerintah melarang, maka cukup diganti dengan shalat Dhuhur di rumah masing-masing.” Kiai Ma’ruf pun meminta umat muslim untuk tidak perlu aneh-aneh, apalagi shalat Jumat virtual. Karena prinsipnya shalat Jumat untuk laki-laki, yang dilakukan secara berjamaah dan tidak ada halangan.
Alumni Pondok Pesantren Al Falah Ploso Kediri itu juga merasa prihatin, karena faktanya fenomena shalat Jumat virtual berhasil menarik perhatian masyarakat kota yang kebanyakan berpendidikan tinggi.
“Anehnya yang mengikuti itu justru orang kota yang memiliki pendidikan tinggi, karena mereka rasa itu rasional. Ini yang kemudian menurut saya dua sosok (Prof Kamaruddin Hidayat dan Dr Imam Nakhoi) yang berhasil menarasikan secara akademis kepada para intelektual, yang pemahaman agamanya rendah namun dinilai logis,” ungkapnya dengan nada prihatin.
Para ulama di Komisi Fatwa MUI Jatim juga merasa khawatir, jika shalat Jumat virtual semakin meluas, maka dapat merusak tatanan hukum fikih. “Yang kita khawatirkan nanti ini semakin meluas, karena ijtihadnya bukan karena ilmu, justru karena ijtihad merusak tatanan para ulama yang ada sampai sekarang,” jelasnya.
“Jadi sebenarnya tuntunan agama kita simpel saja,” ujar Kiai Ma’ruf. “Jumatan itu wajib manakala tidak ada halangan, Jika ada halangan, maka tidak perlu repot-repot mencari internet atau virtual, cukup shalat Dhuhur di rumah masing-masing saja,” pintanya.
“Jika rindu suasana ceramah, tambah Kiai Ma’ruf, tinggal cari rekaman para kiai di youtube, tidak perlu melakukan shalat secara virtual, karena yang sudah kokoh dari madzhab, yang sudah diijtihadkan oleh para ulama, akan menjadi rusak,” pungkasnya. (*)