Bulan Ramadan bulan istimewa dengan keutamaan-keutamaannya yang banyak. Keutamaan itu yang menyebabkan keberadaan bulan ini selalu ditunggu kehadirannya, tentu oleh siapapun yang mengetahui dan menyadari eksistensi keutamaan-keutamaan itu.
Dalam suatu hadits disebutkan: “Seandainya hamba-hamba (Allah) mengetahui apa (keutamaan) yang ada pada bulan Ramadan, niscaya umatku akan berangan-angan agar satu tahun itu adalah bulan Ramadan seluruhnya.” (HR Abu Ya’la; dikutip dalam Lathaif al-Ma’arif hlm 347).
Sehubungan dengan itu, kita bisa menilik kebiasaan yang ada pada generasi shalaf al-shaleh. Perkataan dari kalangan mereka sebagaimana dikutip oleh Ibn Rajab al-Hanbali: “Dahulu para salaf berdoa kepada Allah selama enam bulan agar mereka disampaikan pada bulan Ramadan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan berikutnya agar Allah menerima (amalan mereka di bulan Ramadan).” (Latha’if al-Ma’arif hlm 475).
Umar bin Abdul Aziz Ra tatkala memberi khutbah pada Hari Raya Idulfitri menyampaikan, “Wahai sekalian manusia, kalian telah berpuasa selama tiga puluh hari. Kalian pun telah melaksanakan salat tarawih tiga puluh malam. Kini (di Idulfitri) kalian keluar, memohon pada Allah agar amalan kalian diterima.” (Latha’if al-Ma’arif hlm 475).
Jika para shalaf al-shaleh serasa mencurahkan keseluruhan hidupnya untuk Ramadan, semua ini karena mereka mengetahui dan menyadari bulan ini adalah momentum Allah mencurahkan nafahat (embusan) yang banyak, yakni curahan rahmatNya.
Sedangkan embusan rahmat adalah suatu yang jadi dambaan. Sebagaimana dalam hadits disebutkan: “Sesungguhnya Allah memiliki nafahat yang akan dicurahkan sepanjang masa, karena itu berusahalah untuk mendapatkannya. Bisa jadi di antara kalian ada yang mendapatkan satu nafahat, sehingga dia tidak akan celaka selamanya.” (HR al-Thabarani dalam al-Awsath Juz III/hlm 180).
Jika direnungkan lebih mendalam lagi, apa yang dilakukan oleh para shalaf al-shaleh adalah cerminan dari orientasi hidupnya yang tidak hanya sebatas duniawi. Mereka mendambakan keselamatan dan kebahagiaan tidak sebatas di dunia, tetapi yang justru lebih penting adalah keselamatan dan kebahagiaan di akhirat nanti.
Bahkan bisa jadi apa yang dirasakannya seperti yang tergambar dalam syair puji-pujian bahasa Jawa yang biasa dilantunkan menjelang salat lima waktu: “rugi ndonya gak dadi opo, rugi akhirat bakal ciloko (rugi dunia tidak masalah namun jika rugi akhirat akan celaka).”
Hal ini karena kehidupan akhirat adalah kehidupan yang kekal selamanya. Meskipun dambaannya tetap fii al-dunyaa hasanah, wa fii al-akhirati hasanah (di dunia baik, di akhirat juga baik), namun jika yang enak hanya di dunia tetapi di akhirat sengsara selamanya amatlah rugi.
Kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat bergantung pada rahmat Allah SWT. Nabi Nuh As berdoa, “Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) merahmatiku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Hud [11]: 47).
Demikian pula manusia selamat di akhirat dan masuk surga bukan karena amalnya, tetapi berkat rahmat Allah SWT.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Tidak ada amalan seorangpun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelamatkannya dari neraka, tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah.” (HR. Muslim).
Oleh karenanya, ketika bulan Ramadan Allah SWT mencurahkan embusan (nafahat) rahmatNya yang banyak, maka bagi yang menyadari hal ini akan terdorong untuk berusaha meraih embusan rahmat tersebut.
Tergambarlah hal ini dari kebiasaan para shalaf al-shaleh yang seakan menjadikan segalanya untuk menfokuskan di bulan Ramadan.
Seorang dari kalangan tabiin yakni al-Hasan al-Bashri menyampaikan: “Sesungguhnya Allah SWT menjadikan bulan Ramadan sebagai arena pertandingan bagi hambaNya, agar mereka saling berpacu dalam melakukan ketaatan kepadaNya untuk mendapatkan keridaanNya. Maka berpaculah sekelompok orang sehingga mereka sukses, sementara tertinggallah yang lainnya akhirnya mereka gagal. Maka amat mengherankan orang yang masih main-main, tertawa ria (dalam kelalaian) padahal di saat itu orang-orang yang berbuat baik akan mendapat kesuksesan, sebaliknya orang-orang yang berbuat kebatilan akan mendapatkan kerugian.” (Latha’if al-Ma’arif hlm 475-476).
Dalam kaitan dengan orientasi hidup, Imam al-Nawawi saat menulis Kitab Riyadhu al-Shalihin, pada mukaddimahnya menjelaskan landasan pemikiran yang melatarbelakanginya menulis kitab ini.
Ayat yang dikutip di awal mukaddimah ini adalah firman Allah SWT QS al-Dzariyah (51) ayat 56 yang artinya: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Imam al-Nawawi kemudian menegaskan, ayat ini merupakan peringatan bagi manusia bahwa mereka diciptakan adalah untuk mengabdi atau menyembah kepada Allah SWT.
Imam al-Nawawi melanjutkan uraiannya, bahwa dunia adalah tempat yang akan habis bukan tempat yang abadi, tempat perlintasan saja bukan persinggahan yang abadi. Dengan demikian, orang yang sadar atau terbangun dari penghuni dunia adalah orang yang beribadah. Sedangkan orang yang paling berakal menurut penjelasan Imam al-Nawawi adalah orang yang zuhud (Riyadhu al-Shalihin hlm 1).
Maka dengan kata lain, mereka adalah orang yang orientasi hidupnya bukan dunia, tapi akhirat.
Orang yang zuhud yakni yang berusaha meninggalkan hal yang tak berguna untuk kehidupan di akhirat.
Mereka sekaligus juga orang yang wara’ yakni yang menjaga dari mengotori hidupnya dengan sesuatu yang dapat menyusahkan masa depannya di akhirat.
Uraian Imam Nawawi ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Orang yang berakal (bijak) adalah orang yang bisa menahan nafsunya dan beramal untuk setelah kematian, dan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan selalu berangan-angan (kosong) atas Allah.” (HR Ibn Majah).
Dalam Al Quran antara lain dijelaskan, “Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu” (QS al-Hadid [57]: 20).
Kemudian dijelaskan pula, “Katakanlah, ‘lesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS al-Nisa [4] 77).
Demikian pula dijelaskan, “Kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal” (al-A’la [87]: 17. Lalu Allah juga mengingatkan: “Maka, demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS al-Hjr [15] : 92-93)
Maka tegaslah bagi orang yang beriman, orientasi hidup saat di dunia tidaklah berhenti sampai pada batas kematian atau meninggal dunia, tetapi jauh ke depan yakni kehidupan akhirat, kehidupan sesudah kematian.
Setiap manusia yang memahami dan menyadari ini akan teringat untuk mempersiapkan diri saat ada di kehidupan dunia ini.
Ketika seseorang mengambil jalan hidup dengan menjadikan akhirat sebagai orientasinya, tidaklah berarti hidupnya lalu hanya diisi dengan ibadah ritual saja serta melupakan urusan tanggung jawab dunianya.
Pesan Allah SWT dalam QS al-Qashash [28]: 77): “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Dengan meneguhkan orientasi hidup adalah akhirat, setidaknya akan melahirkan tiga hal.
Pertama, sikap hidup yang hati-hati karena setiap yang dikerjakan di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat sehingga tidak terperdaya dengan tipu daya dunia.
Di manapun posisi seseorang dalam stuktur masyarakat, apakah ada di lapisan atas ataupun ada di kalangan bawah tetap menjaga sikap hati-hati dan waspada.
Rasa khasyah (takut) kepada Allah terus dipupuk agar tidak terjerumus pada pelanggaran terhadap larangan Allah, apakah pelangaran itu berkaitan dengan haq Allah ataupun berkaitan dengan haq manusia.
Ketika mendapatkan amanah sebagai pejabat misalnya, akan berpikir berkali-kali ketika akan melakukan korupsi, mengambil hak yang bukan haknya, atau bertindak yang membuat susah orang lain.
Kedua, seseorang akan menjadi lebih bertanggung jawab karena ia menyadari sebelum dia dimintai pertanggungjawaban di akhirat baginya akan lebih baik mempertanggungjawabkan pada yang dilakukannya saat di dunia.
Ketiga, akan menjadi manusia yang produktif mengukir kebaikan untuk manusia lain, peduli kepada orang lain, serta tidak abai dengan hak-hak mereka.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Nabi SAW, manusia yang baik adalah yang bermanfaat untuk orang lain.
Lalu jika banyak disaksikan adanya perilaku manusia yang semena-mena pada orang lain, termasuk saat menjadi pejabat banyak membuat susah pada rakyatnya, seperti menggusur warga tanpa menimbang perasaan mereka, sebenarnya akarnya berasal dari kesalahan menentukan orientasi hidup. Yang dilihat hanyalah dunia dan lupa bahwa semua di akhirat ada pertangungjawabannya.
Artikel ini ditulis oleh H. Ainul Yaqin, M.Si., Ketua MUI Jawa Timur dalam program Hikmah Ramadhan kerja sama MUI Jawa Timur dengan Tribun Jatim dan Harian Surya.